Iklan

Sabtu, 16 Juni 2012

Kegiatan tahunan Kab. Sinjai


MARIMMPA SALO' TRADISI SARAT MAKNA
  Kelima  pria ini tidak lagi mudah. Kerut-kerut di wajahnya menyiratkan usianya yang   sudah tua. Mereka duduk berhadap-hadapan sambil memengan alat musik. Tiga orang memakai seragam kuning, masing-masing memengan gendrang. Dua lainnya memakai seragam merah, memegang kecapi dan gambus.
  Sejurus kemudian, pukulan gengdrang sanro membahana di muara sungai takkalala, desa sinjai, kecamatan sinjai timur. Petikan kecapi dan gambus, juga mulai tampil menghibur. Usia boleh tua, namun kelima tetua ini memainkan musik layaknya anak muda belasan tahun. Musiknya terus memainkan irama yang mengundang para tamu, untuk memasuki lokasi pelaksanaan acara pesta adat marimmpa salo atau menghalau ikan di sungai.
  Lapat-lapat, musik berhenti. Seorang Bissu bernama lelis kemudian masuk di tengah arena di iringi dayang-dayang. Lelis lalu membunkuk dan meminta izin kepada Bupati Sinjai, Andi Rudiyanto Asapa dan tamu lainya untuk memulai acara marimmpa salo. Acara di awali dengan atraksi maggiri' yang di lakukan lelis. Manggiri adalah atraksi menusuk-nusuk anggota tubuh dengan badik atau keris. Atraksi berbahaya ini mengundang decak kagum para pengunjung.
  Usai maggiri' atraksi lain juga ikut di tampilkan diantaranya, pencak silat kembang,adu pancco serta mallanca. Setelah sejumlah atraksi di tampilkan, acara puncak marrimpa salo di mulai. Puluhan perahu yang sedari pagi di siapkan warga di muara sungai, satu persatu diisi warga dan pengunjung yang ingin melihat prosesi menghalau ikan.
  Marimppa salo atau menghalau ikan di sungai dimulai dari hulu. Jaraknya sekitar dua kilometer dari muara. Dua perahu yang berbeda paling di depan mulai menebar jaring. Sementara sebuah perahu dibelakanya  yang di tumpangi penhulu acara, tampil memandu puluhan perahu lainnya. Seorang tetua yang juga penhulu acara mengacunkan tongkat sebagai tanda perahu harus bergerak menhalau ikan.
  Suara kenalpot perahu pun meraung-raung, bercampur menjadi satu denga bunyi gendrang yang di tabu dari perahu penhulu acara. Panas terik tidak soal. Wargatetap semangat sambil sesekali berteriak Heaaaaaa......,, dengan harapan ikan muncul dan tersangkut di jaring yang di tarik dua perahu yang palin di depan
  Bupati sinjai, Andi Rudiyanto Asapa, ketua DPRD,Sultani, wakil Bupati serta seluruh muspida kabupaten sinjai yang turut serta menghalau ikan, tampak menikmati suasana. Mereka bahkan berbaur dengan warga lainnya dalam satu perahu.
  Di butuhkan waktu sejam lebih menghalau ikan dari hulu. Saat puluhan perahu dari hulu tiba di muara, beberapa perahu warga lainnya sudah siap dengan jaring penangkap ikan di muara sungai. Di sini, kerjasama warga dilihat. Perahu dari hulu yang sudah menunaikan tugasnya menhalau ikan ke muara, menyerahkan tugas selanjutnya kepada perahu lainya di muara.
  Perahu di muara inilah yang kemudian mengangkat jaring dan mengumpulkan ikan yang tersangkut di jaring berukuran raksasa. Hasil tankapan inipun kemudian di naikkan kedarat untuk kemudian di masak dan di makan bersama oleh seluruh warga.
  Tradisi Marimmpa' Salo di muara sungai takkalala, merupakan tradisi warisan leluhur masyarakat di dua desa yang hanya di pisahkan oleh sungai. Setiap musim panen tiba, warga di dua desa ini, masing-masing di desa sanjai kecamatan sinjai timur serta desa Bua kecamatan  tellulimpoe, selalu mengelar marrimpa salo' sebagai ungkapan  rasa syukur atas  tas panen yang melimpah. Kendati berbeda wilayah kecamatan, namu warga dua desayang sebagian besar warganya berprofesi nelayan  dan petani ini selalu rukun  dan mengedepankan kerja sama setiap melaksanakan pesta adat.
  Bahkan kesepakatan masa lalu terkait kesepakatan marimmpa salo, masih terjaga hingga sekarang. Kesepakatan itu adalah, warga di dua desa ini menaggun biaya pelaksanaan pesta adat secara bergiliran. Tahun ini, desa sanjai yang punya tabggungan, tahun berikut adalah desa bua. Begitu seterusnya.
  Ketika nilai-nilai persatuan, kebersamaan dan rasa salin memiliki mulai menepis di negeri ini, warga desa sanjai dan desa bua bisa menjadi contoh masih kentalnya rasa persatuan dan kebersamaan itu.  
Bupati Sinjai Resmikan Jembatan Sellue Ribole
Bupati Sinjai A.Rudiyanto Asapa meresmikan pengunaan danpemanfaatan jembatan Sellue Ribole yang merupakan swadaya masyarakat Dusun Bole Desa  Saohiring dan Dusun Alekanrung Desa Kanrung Kecamatan Sinjai Tengah pada hari kamis (10/11/2011).
Jembatan ini di bangun berdasarkan kesepakatan bersama untuk memperlancar kegiatan perekonomian antara kedua desa tersebut. Penanggung jawab sekaligus pemprakarsa pembangunan jembatan Drs.H.Aminduddin dalam laporannya mengatakan bahwa meskipun telah merantau 30 tahun lebih di Kabupaten Tator namu ia tetap pemperhatikan pembanguna di kampung halamanya, untuk itu atas inisiatifnya bersama warga setempat membangun jembatan penghubung antara dusun Bole dengan Dusun Alekangrung.
Dimana dana awal dibutuhkan sebanyak 39 juta rupiah lebih. Selain itu pihaknya juga memperoleh beberapa sumbangan baik itu berupa material pembanguna maupun dalam bentuk uang tunai. Meskipun saat ini  jembatan yang mampu dilalui kendaraan roda dua, dia berharap kepada pemerintah untuk memberikan bantuan sehingga jembatan ini dapat difungsikan lebih baik lagi.
Bupati Sinjai A,Rudiyanto Asapa memberikan apresiasi yang tinggi adanya warga yang hidup diperantauan masih peduli dengan pembangunan yang ada dikampungnya sendiri, olehnya itu ia menyambut baik pembangunan jembatan yang merupakan swadaya murni masyrakat.
Olehnya itu apa yang menjadi harapan pemerinta desa dan warga sekitar terkait penyempurnaan jembatan tersebut, Pemerinta Kabupaten Sinjai akan merespon baik keinginan tersebut. Selain itu pada tahun 2012, ia menjanjikan jalanan yang ada di dusun bole ini seluruhnya akan dibeton.
Namun menurutnya, yang paling penting dalam pembangunan yang akan dilakukan maupun yang telah dilakukan pemerintah kebupaten sinjai adalah memeliharaterhadap instruktur yang telah di bangun. Olehnya itu ia menharapkan kepada warga maupunpemerintah desa untuk selalu menjaga dan merawat sarana instruktur yang di bangun sehingga pemakaiannya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dan dalam jangka panjang.
MAPPUGAU HANUA ,PESTA PENEN DI KARAMPUANG

Pengunjung dari berbagai daerah  tumpah ruah di kawasan  adat Karampuang,desa  Tompobulu  kecamatan Bulupoddo,kabupaten Sinjai,Kamis(27/10/2011).Jumblah  penggunjungyang datang di perkiarakan mencapai ribuan  orang. Selain warga di sekitar kawasan adat,adapula warga dari luar sinjai. Meraka datang untuk  melihat  prosesi  acara adat  Mappugau  Hanua atau pesta atau pesta Kampung.
Mappugau Hanua adalah pesta adat yang digelar sebagai ungkapan rasa syukur,atas hasil panen warga yang melimpah.  
Laporan :Zainal Abidin Ridwan
   Puncak acara MAPPUGAU HANUA adalah MENRE'RI BULU. Inilah punjak acara yang paling banyak menarik nikmat warga menhadiri MAPPUGAU HANUA. Acara MENRE'RI BULU(Naik Gunung) diawali dengan prosesi yang rumit. Malam hari menjelang pelaksanaanya  seluruh bahan dan alat serta perangkat dan pelaksana sudah di nyatakan siap  termasuk makanan yang di santap oleh para tamu yang datang.
   Menjelang pagi,seluruh ayam yang merupakan sumbangan warga di  potong,dibersihkan dan di bakar (Untuk membersihkan bulu halus) yang semuanya dilaksanaka oleh kaum pria. Setalah bersih,di serahkan pada kaum ibu untuk diolah menjadi menjadi bahan makanan. Setelah siap  saji,sebagian makanan di gunakan sebagai bahan Ritual (Sesajian) dan sebahagian lagi disajikan lagi sebagai bahan konsumsi peserta upacara. Sejumlah pejabat seperti Bupati Sinjai,Andi Rudiyanto Asapa,Ketua DPRD,Sultani,bersama anggota DPRD dan kepala SKPD lingkup pemkap Sinjai,turut diundang ke rumah adat guna menikmati hidangan yang di sajikan masyarakat Karampuang.
   Sambil menyiapkan makanan dan melayani para tamu yang datang,SANRO (Dukun) beserta pembantu-pembantunya melaksanakan ritual MATTULI ,yakni pemberian berkah dan memyambut kehadiran sang padi yang telah di panen oleh kaum petani. Tiga BESSE(Ikat) padi yang -mewakili jenis padi yang di tanam seperti padi berwarna putih,merah,dan hitam  dilettakkan di atas KAPPARA MAKKIAJE dihadapan SANRO dilenglapi dengan  OTA  yang nantinya akan dipersaksikan  kepada leluhurnya bahwa panen cucu-cucunya kembali berhasi. Upacara MATTULI ini di iringin dengan GENDANG SANRO,GAMARU,JONG-JONG,dan bunyi-bunyian lain.
   Dibagian lain ,acara MAPPADUKE  atau menumbuk lesung turut memeriahkan acara. Acara MAPPADUKE ini juga adalah isyarat bahwa tidak lama lagi ritual di punjak gunung segera di laksanakan. Setelah acara ritual MATTULI ini selesai,maka SANRO dengan gadis-gadis pengiringnya beserta perangkat-perangkat adat,meninggalkan rumah adat menuju lokasi upacara adat lain yakni di puncak gunung. Suasana inilah yang ditunggu-tunggu oleh seluruh pengunjung. Di kaki bukit,TOMATOA memukul GONG atau DOLMEN Dsebanyak tujuh kali. Saat itulah masyarakat diharapkan berkumpul dengan tenang dan tertib menuju bukit atau gunung,didahului oleh SANRO,TOMATO,GELLA dan seluruh warga. Seluruh bahan upacara diarak ke puncak dan langsung menuju EMBA atau dalam arkeologi disebut dengan susunan batu temu gelang. Upacara berlangsun diiringi dengan gendang dan aneka bunyi-bunyian lain untuk menanbah sakralnya acara ini.
   Acara pada EMBA ini di pimpin oleh TOMATO. Masyarakat menjalani ritual MALLOHONG yakni melektakkan kain putih di atas sebuah batu altar lalu melepaskan ayam. Adapun simbol acara ini adalah untuk mengenang kematian MALLAJANG sekaligus melepaskan nasar kepada leluhurnya yang diucapkan pada pelaksanaan pesta tahun sebelumnya. Di atas batu susun temu gelang ini juga digantungkan kain putih sebagai peringatan jalan kematian kedua yaitu gantung. Setelah acara MALLOHONG selesai,dilanjutkan dengan tradisi membakar beberapa hasil bumi sebagai peringatan jenis kematian  tahap ke  tiga yakni DI TUNU yang di pimpin oleh SANRO.
   Bahan yang telah di bakar tadi biasanya di perebutkan oleh warga dengan jalan mengigit langsung dari api dan di tempatkan di atas MACA-MACA sejenis jalinan bambu yang di siapkan khusus. Bahan yang di bakar ini diyakini oleh masyarakat dapat menjadi obat pada anak-anak yang sering ATIKKENENG (Kesurupan). Sementara SANRO menjalankan ritual di puncak gunung,pinati melaksanakn pula acara MAPPALEBBA DI BOLA yakni menyiapkan sesajen di rumah adat dan akan di persembahkan di air. Bahan persembahan yang disiapkan oleh pinati ini adalah bahan yang penyiapanya tidak dipertontonkan kepada umum  yang nantinya akan di persembahkan kepada penjaga air yang disebut dengan CINNA GAUE.
  Masyarakat karampuang sebagai masyarakat yang tetap memelihara tradisi MAPPUGAU HANUA tentunya mengandung nilai yang diyakini baik oleh masyrakat pendukungnya. Lestarinya tradisi ini tentunya ditopang oleh keyakinan bersama oleh nilai-nilai yang dikandung. Sebagai suatu pesta yang sangat meriah dan membutuhkan waktu lama,tentunya memerlukan  tenaga dan biaya yang sangat besar. Ternyata tidak pernah menjadi halangan akibat biaya,seluruh warga siap membantu dan salin bahu-membahu dengan kesadarn bersama untuk membiayai seluruh rangkain acara. Demikian pula dengan tenaga,dalam ungkapan orang KARAMPUANG,kesediaan membantu ini dikatakan "MACCA MAKKITOMATOA" artinya memahami beban TOMATOA(orang tua) sebagai penanggung jawab pesta adat MAPPUGAU HANUA.

 (KUTIPAN WARTA DARI SUARA BERSATU SINJAI )  
Arti dari bahasa-bahasa bugis sinjai :
Mappugau Hanua             (Pesta Rakyat)
Menre'ri  bulu                    (Naik Bukit)
Karampuang                     (Nama Desa Adat)
Sanro                                  (Dukun)
Mattuli                               (Pemberian Berkah)
Kappara Makkiaje           (          
Mappadekko                   (Menunbuk Lesung)
Tomatoa                         (Orang Tua atau Ketua Adat)
Gella                                (Suami Dari Tomatoa)
Emba                              (Susunan Batu Gelang)
Mallohong                      (Menutupi)
Mallajang                       (
Gattung                         (Gantung)
Di tunu                          (Di Bakar)
Maca-Maca                   (Sejenis Anyaman Bambu)
Atikkeneng                   (Kesurupan)
Cinna Gau'e                 (Nama sebuah penunggu di sungai adat)
Macca Makkitomatoa (Menghargai orang tua)